Kamis, 05 Juli 2007
Situs Souw Beng Kong
Upaya memperbaiki makam Souw Beng Kong
1. Pada tahun 1909 dipugar oleh Kong Koan (Dewan Opsir Tionghoa).
2. Pada bulan Oktober 1929 “KONG KUAN” (Dewan Perwakilan Masyarakat Tinghoa) menyediakan dana sebesar 2.500 Golden untuk biaya renovasi makam tersebut dibawah perintah Majoor der Chineezen Khouw Kim An (1875-1946).
3. Pada bulan April 2006 ini ada yang mengaku keluarganya yang membeli rumah di atas makam itu. Kabarnya, mereka akan memperbaiki makam ini.
Pendapat Masyarakat
David Kwa, pengamat sejarah Tionghoa,mengatakan “Makam ini ”terlupakan” begitu saja selama masa Orde Baru dan baru ditengok kembali setelah reformasi berlangsung beberapa tahun. Kabarnya, ada rencana pemugaran oleh Panitia Pemugaran Situs Souw Beng Kong. Selain dipugar, makam juga akan dikembangkan menjadi Taman Kota dan Objek Wisata Sejarah dan Kebudayaan. Gagasan ini mendapat tanggapan positif dari Walikotamadya Jakarta Pusat Petra Lumbun.”
"Sampai sekarang kawasan Kota Tua masih kumuh dan macet. Kawasan ini menggiurkan dari sisi ekonomi. Tetapi sejarah di sini juga sangat penting. Karena itu, pemerintah harus serius dalam membangun kembali Kota Tua Jakarta," kata Alwi.
Ir WP Zhong,dosen UNTAR menyatakan keprihatinannya karena di atas makam kuno itu sudah dibangun rumah tinggal dan lingkungan sekitarnya sudah padat sekali dengan perumahan kumuh.
Budayawan Ridwan Saidi, lebih memilih supaya hari lahir
Ketua KPSBI-Historia Asep Kambali"Jangan lupakan, selain menjadi Kapitan Cina pertama di
“Dia merupakan salah seorang tokoh besar Tionghoa yang pengaruhnya meliputi kawasan Banten dan
Sejarah Souw Beng Kong
Souw Beng Kong lahir kira-kira tahun 1580 di Desa Tongan dalam periode Banlek (1573-1620) dari kaisar Beng Sin Tjong di kabupaten Tang-oa” (Tong’an), karesidenan Coan-ciu (Quanzhou), provinsi Hokkian (Fujian), Cina Selatan.
Ketika pada tanggal 23 Juni 1596 armada Belanda di bawah pimpinan
Cornelis Houtman (
Pada tahun 1611 ketika pada awalnya VOC membeli hasil bumi, terutama lada di Banten, ternyata ia harus berurusan dengan seorang pedagang Tionghoa kepercayaan Sultan yang bernama Souw Beng Kong. Dan disaat itulah Jan Pieterszoon Coen bertemu dan Souw Beng Kong.
Ketika pada tahun 1619 Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC di Hindia Belanda dan bermaksud memindahkan kantor dagangnya dari Maluku ke Jayakarta. Souw Beng Kong sebagai pemimpin komunitas Tionghoa di Banten dirayu untuk memindahkan seluruh penduduk Tionghoa dari Banten ke Jayakarta yang kemudian diubah namanya menjadi
Ia melakukan monopoli perdagangan dengan memblokade pelabuhan Banten dan melarang pedagang Tionghoa memasuki Banten. Akibatnya pelabuhan Banten menjadi sepi dan hubungan etnis Tionghoa yang diwakilkan Souw Beng Kong, sebagai pimpinan etnis Tionghoa di Banten dengan Sultan Banten menjadi renggang dan kurang harmonis.Perpindahan etnis Tionghoa tersebut ditentang keras oleh Sultan Agung Banten**.
Dimasa peperangan dengan Sultan Agung dari Banten, Jan Pieterszoon Coen pernah memberikan perintah kepada Souw Beng Kong agar memajukan perdagangan
Pada 11 Oktober 1619 Souw Beng Kong diangkat pertama kali sebagai overste (opperste) der Chineezen karena keberhasilannya membawa etnis Tionghoa dari Banten ke
Pada tahun 1622 kapal-kapal Belanda menculik pria, wanita dan anak-anak di pantai Tiongkok Selatan dan menyiksa para tawanan tersebut dengan sangat kejam di kepulauan
Tahun 1625 gelar itu diubah menjadi cappiteijn ofte overste der Chineezen, yang memiliki tugas mengurusi para pemukim Tionghoa di kota batavia sebagai juru bicara dan penanggung jawab mereka, serta mengendalikan komunitas Tionghoa di Batavia agar patuh kepada setiap peraturan yang dibuat VOC termasuk menjalankan politik “divide et impera”.Ia menjadi penasihat resmi mengenai adat-istiadat Tionghoa pada pengadilan Belanda sejauh menyangkut adat-istiadat Tionghoa.
Selain itu ia juga memiliki perkebunan lada yang luas sekali dan beliau juga yang pertama kali mengajarkan system Irigasi yang sekarang digalakkan oleh petani – petani di Nusantara serta mengajarkan pembuatan sawah yang yang dikenal sekarang dengan Subak atau terasering.Mengurus tempat judi, pembuatan uang tembaga, serta mengawasi rumah timbang bagi semua barang milik orang Tionghoa. Ia mengawasi pembangunan rumah-rumah para pejabat Belanda, dengan demikian ialah aannemer (kontraktor) Tionghoa pertama di
Beng Kong meninggal dunia 8 April 1644 di usia 50 tahun di gedungnya yang megah di Tijgersgracht (artinya Terusan Macan,sekarang Jl Pos Kota) dan dimakamkan sebulan kemudian di tanahnya sendiri yang terletak di Mangga Dua tetapi menurut nara sumber dari salah satu keluarganya jenazah Souw Beng Kong di rawat sampai 2 bulan di balsam dan ditemani dengan setia oleh dua orang budak perempuan dan mereka baru bebas dari budak setelah jenazah nya di makam kan dan menjadikan makam tertua etnis Tionghoa di Jakarta.
Dalam laporannya kepada Heeren XVII di Belanda ia menyatakan : “ Tak seorang pun di dunia yang mengabdi kepada kita dengan lebih baik selain orang Tionghoa.”Inilah untuk pertama kali seorang tokoh etnis Tionghoa berhasil ditempatkan pada posisi ‘tengah’ oleh Belanda dalam jajaran pemerintahan untuk menjembatani hubungan antara Tionghoa dan penduduk setempat.
*Pulau Pescadores merupakan Pulau terbesar dari kumpulan kepulauan yang berjumlah sekitar 64 pulau besar dan kecil dengan total luas wilayah 127 km².Pescadores adalah nama yang diberikan oleh orang Belanda. Di masa Dinasti Yuan, Tiongkok telah mendirikan pos teritorial di
**The First Javanese War of Succession (1704-08)
The Second Javanese War of Succession (1719-23)
The Third Javanese War of Succession (1746-55)