Souw Beng Kong

Minggu, 18 Oktober 2009

Versi lain mengenai Souw Beng Kong by So Wee Ming

SOUW BENG KONG , Kapitein Tionghoa yang Pertama di Hindia Belanda.

Pada Tahun 1611, Gubernur Jenderal VOC Pieter Both mengutus bawahannya Jan Pieterzoon Koen ke Tanah Banten untuk membeli Hasil Bumi dan rempah-rempah terutama Lada, di Banten dia berkenalan dengan seorang saudagar Tionghoa yang sangat berpengaruh di wilayah itu serta mepnya tanah perkebunan yang sangat luas yang bernama Souw Beng Kong ( oleh orang Belanda ditulis sebagai BENCON ), Souw Beng Kong sangat dihormati dan dipercaya penuh oleh para petani dan pedagang di wilayah itu, setiap pedagang asing dari Inggris , Portugis dan Belanda yang ingin membeli Hasil Bumi haruslah melakukan pembelian dan negosiasi harga dengan kehadiran pihak Souw Beng Kong .
Souw Beng Kong ( selanjutnya disingkat sebagai SBK ) diperkirakan lahir di Tang Oa dekat Kota Pelabuhan Amoy – Propinsi Hokkian, kira-kira Tahun 1580. Istri resminya diperkirakan berdarah Melayu bernama INQUA ( ? ),karena Surat Wasiat terakhir dari SBK harus diterjemahkan dahulu kedalam Bahasa Melayu,SBK mempunyai seorang anak yang masih tinggal di daerah asalnya di Tiongkok, Ia juga mempunyai 2 orang putra anak dari 2 perempuan Bali, seorang putra lagi dari istri lain seorang perempuan Tionghoa dan ada lagi seorang putrid dari istri yang tidak pernah disebut namanya.
Pada masa itu sudah banyak masyarakat Tionghoa yang tinggal mengelompok disuatu tempat yang dikelilingi Poho Bambu yang kelak tempat tersebut dikenal dengan sebutan daerah Bambu Cina. Masa itu Pelabuhan Banten adalah sebuah pelabuhuan yang sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari mancanegara, terutama pada bulan February sampai bula April banyak pedagang dari Daratan Tiongkok yang dating ntk membeli hasil bumi terutamanya adalah Lada dan Kopra.
Peranan kelompok orang Tionghoa sangatlah penting dalam turut memajukan perdagangan di wilayah Kesultanan Bantensejak Zaman Dahulu , Hal ini terlihat dari hasil penggalian di daerah Banten Girang menunjukan bahwa orang-orang Tionghoa sudah berinteraksi dengan masyarakat Banten sejak Abad ke 7 – 8 dan setidak nya dari hasil penggalian purbakala tersebut terlihat bahwa telah terjadi hubungan yang sangat erat dan saling menguntungkan untuk kedua belah pihak.
Kebanyakan dari orang Tionghoa kala itu datang dari pesisir Daratan Tiongkok Selatan, pada awalnya mereka dating untuk berdagang dan memuat barang-barang dagangan tersebut dengan Jung-Jung ( Kapal China Zaman dulu yang sangat terkenal ) dan kembali ke negeri asalnya , setelah itu banyak dari mereka yang memutuskan untuk tinggal dan mencari penghidupan disini dan pengaruh mereka sangatlah besar kemudian berkembang memasuki hampir semua sektor ekonomi, mulai dari tata cara bertani sampai ke pemasaran hasil bumi, dari berdagang keliling sampai ke perdagangan dengan kalangan internasional, dari Tukang Kayu sampai Pandai Besi, dari pembuatan garam sampai pembuatan batu bata.
Jan Pieterzoon Coen yang datang untuk membeli hasil bumi mulai mencoba mempengaruhi dan menekan SBK, tetapi tidak berhasil karena sebagai pedagang yang piawai SBK tidaklah mudah untuk diintimidasi dan diteka, dalam hal ini Sultan Banten waktu itu merasa sangat senang dan terbantu oleh Pihak SBk dan kelompok Tionghoa lainnya yang dianggap bisa mengadakan negosiasi dagang yang bisa menguntungkan Kesultanan Banten. Orang-orang Tionghoa in juga yang mengajarkan teknologi baru dalam hal bertani sehinga hasilnya bisa melimpah seperti bertani dengan sistim persawahan lengkap dengan pengairannya karena sebelumnya mereka hanya bercocok tanam dengan sistim lading sehingga hasilnya kurang memuaskan.
Ketika Jan Pieterzoon Coen berhasil merebut Jayakarta / Sunda Kelapa pada Tahun 1619, penduduk setempat tidak mau mengadakan hubngan dagang dengan pihak Belanda, demikian juga dengan orang Tionghoa karena sebelumnya Belanda telah membuat perjanjian dengan Pangeran Jayakarta, dalam perjanjian itu disebutkan bahwa orang-orang Tionghoa tidak diperbolehkan membangun rumah disekitar Loji yang didirikan Belanda, padahal waktu sudah banyak orang Tionghoa yang tinggal di sekitar pesisir pantai dimana Belanda banyak mendirikan Loji-loji nya sehingga banyak dari warga Tionghoa yang rumahnya harus dibongkar dan harus pindah ketempat lain untuk menjauhi Loji-loji tersebut.
Untuk merebut hati golongan Tionghoa ini maka akhirnya Coen menghapus peraturan tersebut, namun golongan Tionghoa sudah patah arang dan tidak percaya lagi pada Belanda serta tidak mau lagi berhubungan dagang, menghadapi hal ini Coen teringat pada SBK, pedagang yang sangat dihormati oleh masyarakat Tionghoa.

Pemboikotan yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa ini makin lama makin hebat, para pedagang Tionghoa juga tidak mau lagi menjual dagangannya kepada pihak Belanda, bahkan tidak ada orang Tionghoa yang mau memperbaiki sepatu para Serdadu Belanda. Jan Pieterzoon Coen akhirnya sadar akan potensi kerugian lebih besar yang bisa terjadi kalau masalah ini berlarut-larut, akhirnya ia memutuskan untuk menemui SBK dan meminta bantuannya untuk mengatur dan mengurus komunitas Tionghoa di Batavia maupun di Banten.Kepada bawahannya dia memberi perintah bahwa “ Siapapun yang ingin memperluas dan memperkuat perdagangan serta pengaruh Belanda, harus bekerja sama dengan komunitas Tionghoa, karena mereka adalah bangsa yang ulet, rajin dan giat bekerja - ” dan hanya SBK lah orang yang tepat untuk diajak bekerja sama. “ Tidak ada yang lebih cocok untuk tujuan kita selain bekerja-sama dengan komunitas Tionghoa “ demikian laporan J.P. Coen kepada Heeren XVII. Coen juga menyatakan bahwa “ komunitas ini sangat bertentangan dengan penduduk asli yang berwatak pemalas, susah diatur dan tidak dapat dipercaya, orang-orang Tionghoa ini adalah pekerja yang rajin, tidak kenal lelah, sangat terampil dan berdisiplin kuat “. Demikian setelah melalui proses pendekatan dan bersaing dengan pihak Kesultanan Banten dan juga karena Sultan Banten telah melakukan kesalahan fatal dengan menyuruh membongkar semua rumah orang Tionghoa yang terletak dipinggiran pantai Banten karena hal ini dianggap terlalu mengganggu pemandangannya dalam memantau Pantai Banten, maka berangsur-angsur orang-orang Tionghoa dibawah pimpinan Souw Beng Kong dan Lim Lak Co ( Shoemaker van Banten / Pembuat Sepatu dari Banten ) berpindah ke Batavia. Sejak itu pelan-pelan Pelabuhan Banten mulai ditinggalkan oleh para pedagang mancanegara, pusat kegiatan perdagangan pun mulai berpindah ke Batavia. Gelombang pertama perpindahan itu sebanyak 170 Keluarga Tionghoa dari Banten mulai memasuki Batavia, dan SBK harus menampung dan mengurusi mereka . Untuk keperluan mengatur masyarakat Tionghoa tersebut maka Jan Pieterzoon Coen pada tanggal 11 Oktober 1619 mengangkat Souw Beng Kong menjadi Kapiten ( Kapitein ) Tionghoa yang pertama yang diangkat oleh Pihak Belanda, pada masa itu penduduk Tionghoa yang ada di Batavia sudah sekitar 400 Keluarga dan terus bertambah. Souw Beng Kong juga diangkat sebagai sebagai Ketua Kongkoan ( Dewan Tionghoa masa itu ), Dewan itu bertugas untuk mengatur segala keperluan dan kepentingan orang-orang Tionghoa mulai dari Upacara Perkawinan , Upacara dan tempat Pemakaman serta memilih tempat-tempat pemakaman untuk orang Tionghoa di Batavia. Mengenai soal Kongkoan ini sejarahwan dari Universitas Leiden Belanda yaitu Profesor Leonard Blusse menyatakan, Kongkoan ini dipergunakan oleh Pemerintah Belanda selain untuk mengurusi orang Tionghoa, Dewan ini juga bertugas menjadi semacam petugas sensus yg mencatat semua data-data tentang masyarakat Tionghoa dan yang terlebih penting adalah untuk menarik bermacam Pajak dari mereka. Profesor Blusse saat ini dengan Historical Institute ( IGEER ) sedang melakukan pekerjaan besar yaitu menyusun dan membuat microfilm tentang daftar dan data-data dari anggota Kongkoan di Batavia dari mulai didirikan dibawah Pimpinan Souw Beng Kong yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang, data dari para anggota Kongkoan tersebut sa’at ini sudah berada di Universitas Leiden, bila selesai data itu dapat digunakan oleh para orang-orang Tionghoa yang ingin mencari asal-usul dan akar keluarganya.

Sebagai Kapiten , Souw Beng Kong ditugasi untuk mengurusi urusan sipil termasuk harus bisa mengatasi bila ada keributan antar sesama orang Tionghoa. Ketika pada 24 Juni 1620 di Batavia dibentuk College van Schepenen, Souw Beng Kong sebagai Kapiten Tionghoa sa’at itu juga diberi jabatan dalam Dewan tersebut, Jabatan Souw Beng Kong dalam Dewan tersebut bukan hanya memberikan nasihat, tetapi juga memutuskan dan bertanggung-jawab atas segala perkara-perkara yang berkenaan dengan orang Tionghoa yang diajukan kepada Dewan / Majelis tersebut.
Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal pada 18 Agustus 1620, Souw Beng Kong diberi kekuasaan penuh untuk menangkap orang-orang Tionghoa yang menurut pendapatnya harus ditangkap ( semisal terlibat tindakan Kriminal ) dan menyerahkannya kepada pemerintah Belanda. Pengangkatan Souw Beng Kong dalam jabatannya tersebut juga disetujui oleh Pemerintah Pusat di Negeri Belanda, seperti yang tertera dalam surat kepada J.P. Coen yang antara lain menyatakan “ Pemerintah Kerajaan Belanda menyetujui pengangkatan Tuan BENCON ( Belanda menyebut SBK dengan nama BENCON ) sebagai anggota Dewan College van Schepenen “

Dalam melaksanakan tugasnya, Souw Beng Kong dibantu oleh seorang sekretaris beragama Islam yang bernama Gouw Cay. Kedua pimpinan orang Tionghoa ini tidak diberi gaji tetapi diberi hak untuk menarik cukai sebesar 20 % dari dari Pajak Judi yang dikenakan Pemerintah Belanda kepada para Pachter ( Penyelenggara Rumah Judi ) di Batavia, Rumah Judi ini sengaja dipelihara oleh pemerintah Belanda tujuannya tentu untuk menarik uang pajak dari para para pemain judi yang kebanyakan adalah para Kuli Kontrak dan Budak yang sangat kecanduan judi dimana sering kali uang yang diterima dihabiskan di meja judi. Sebenarnya bukan hal yang mustahil bila Pemerintah Belanda memang mau menghapuskan rumah-rumah judi tersebut tetapi hal ini sengaja dipelihara dan dilindungi oleh para petugas Belanda setempat yang mendapatkan setoran / upeti dari para penyelenggara rumah judi tersebut, rumah judi tersebut harus membayar jumlah yang cukup besar sampai mencapi 6000 Sterling tiap bulannya. Gouw Cay sebagai sekretaris Souw Beng Kong dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Belanda tertanggap 1 Agustus 1621 diberi sebidang tanah berupa kebun kelapa di Kampung Bebek. Ditempat tersebut pada Tahun 1625 Gouw Cay membangun sebuah Mesjid yang sampai Tahun 1920 an masih berdiri.
Dibawah pimpinan Souw Beng Kong, jumlah penduduk Tionghoa di
Batavia meningkat dengan pesat sampai mencapai 1000 keluarga pada Tahun 1622. Mereka pada umumnya hidup dengan berdagang dan bertani, pemboikotan kepada Pemerintah Belanda juga berangsur-angsur dihentikan Karena Pemerintah Belanda telah memberikan kebebasan kepada orang Tionghoa untuk membangun rumahnya dimana saja mereka suka dalam artian tidak lagi dibatasi hanya boleh membangun di daerah tertentu,setiap hari makin banyak saja orang Tionghoa yang berdatangan dan tinggal di Batavia. Daerah perumahan pun berkembang dengan pesat, baik didalam kota maupun daerah pinggiran, demikian juga dengan sektor perdagangan berkembang dengan pesat. Boleh dikata bahwa Souw Beng Kong turut membangun fondasi dalam mengembangkan Kota Batavia yang dimulai oleh Jan Pieterszoon Coen.

Karena jasa-jasanya, dengan Surat Keputusan tertanggal 1 February 1623 Gubernur Jenderal JP Coen member hadiah 2 bidang kebun kelapa kepada Souw Beng Kong diatas tanah tersebut dibangun rumah-rumah batu yang cukup megah atas biaya Pemerintah Belanda, penjagaan 24 jam juga diberikan demi menjaga keamanan Souw Beng Kong dan keluarganya. Dalam catatan “ Kalapaci “ disebutkan bahwa orang-orang dari Tiongkok selatan tidak suka berhubungan dengan Pemerintah Belanda di Batavia karena kapal-kapal Jung mereka yang akan pulang ke Tiongkok sering dicegat dan dirampas diperairan sebelah utara Nusantara ( atas hal ini utusan dari Gubernur penguasa Fukien datang ke Batavia untuk menyampaikan protes atas tidakan perompakan yang dilakukan oleh orang-orang Belanda dibawah pimpinan Cornelis Reyersen ). Barang-barang rampasan diangkut ke Batavia dan awaknya dibui untuk kemudian dijual kepada para hartawan sebagai budak belian dengan harga 60 Real ( ? ) perorangnya kemudian dipekerjakan sebagai budak perkebunan dan pertanian dengan Pajak Kepala sebesar 1,5 Real sebulan. Waktu itu Souw Beng Kong dan Gouw Cay diberi hak untuk membuat mata uangnya sendiri yang terbuat dari timah dan timahnya harus dibeli dari pihak Belanda dengan tidak dikenakan pajak.
Tahun 1628-1629 terjadi perang antara Belanda dengan tentara Sultan Agung di front Timur, dengan tentara Banten di front Barat dan armada tentara Inggris dari laut di front Utara maka Souw Beng Kong menunjukan sikap Netral dan Tidak Memihak, berkali-kali J P Coen dari Pihak Belanda meminta bantuan dan saran tapi ditolak oleh Souw Beng Kong dan Sultan Banten yang pernah punya hubungan baik dengannya juga meminta bantuan Souw Beng Kong tetapi juga ditolaknya dengan halus, ini membuktikan bahwa kedatangan orang Tionghoa di Bumi Nusantara ini tidak punya maksud untuk terlibat dalam Konflik dan ingin menjadi Penguasa tetapi murni karena ingin berdagang dan mencari kehidupan yang lebih baik.
Setelah berhasil melakukan penyusupan kedalam pasukan Sultan Agung dan berhasil membakar ransum serta berhasil mengalahkan pasukan tentara Banten dan juga mengalahkan armada Inggris, maka Pemerintah VOC makin memperkokoh posisinya di Batavia, Pemerintah Belanda memberlakukan peraturan yang ketat, setiap warga dilarang bepergian tanpa Surat Izin dari Pemerintah Belanda.

Souw Beng Kong menjadi tidak senang bekerja sama lagi dengan pihak pemerintah Belanda, ia mengajukan permohonan untuk kembali ke Tiongkok. Setelah permohonannya dikabulkan maka dengan menumpang kapal perang “ de swaen “ dia berangkat ke Tiongkok melalui
Taiwan. Namun, ketika di Taiwan dia membaca maklumat dari pemerintah Tiongkok yang menyatakan bahwa barang siapa yang pernah bekerja sama dengan pihak Belanda, maka harta bendanya akan disita dan orangnya akan dikenakan hukuman berat. Karena takut maka Souw Beng Kong membatalkan kepulangannya ke Tiongkok dan selama dua tahun dia tinggal di Taiwan sambil berdagang dan ternyata usahanya tersebut gagal.

Selama di Taiwan Souw Beng Kong akhirnya terlibat dalam sejumlah usaha penyelundupan dan perdangangan gelap, tetapi mengingat akan jasa-jasanya kepada kaum Tionghoa di Batavia maka dia tetap dilindungi oleh para sahabatnya, para pejabat Belanda di Batavia mengirimkan utusan dan surat kepada Gubernur Taiwan sehingga dia lolos dari hukuman pemerintah Tiongkok dan akhirnya ia memutuskan kembali ke Batavia. Pada tahun 1639 , dengan menumpang Kapal perang Belanda “ Brouckoort “ dia pun bersama keluarganya kembali ke
Batavia. Ternyata sesampai di Batavia Souw Beng Kong masih tetap dihormati, walaupun kedudukannya sebagai anggota College van Schepenen telah digantikan oleh Phoa Beng Gan ( yang oleh Belanda disebut Binggam), tetapi jasa-jasa Souw Beng Kong masih tetap diingat oleh pihak Belanda. Ketika dibentuk Boedel Kamer atau Balai Harta Peninggalan untuk mengurus dan melindungi harta warisan kaum Hartawan Tionghoa yang tidak mempunyai ahli waris, maka Souw Beng Kong pun mendapat kehormatan dan diangkat untuk mengepalainya ( Boedel Messter ). Kemudian, bersama Lim Lak Co, Souw Beng Kong mengajukan resolusi agar pemerintah Belanda menaruh perhatian khusus dan serius kepada kampung orang Tionghoa untuk menjaga kesehatan dan diperbaiki lingkungannya, tuntutan kedua orang ini dipenuhi oleh pemerintah Belanda dan hasilnya adalah penataan lingkungan pecinan di seputar Pancoran-Kota yang sampai sekarang masih belum banyak berubah, pengaruh Souw Beng Kong pun semakin bertambah kuat. Akhirnya karena telah berusia lanjut Souw Beng Kong mengajukan pengunduran diri dan Lim Lak Co dipilih menjadi pengganti Souw Beng Kong.

Souw Beng Kong meninggal pada 8 April 1644 dan seluruh masyarakat Tionghoa ikut berkabung, pemerintah Belanda juga menyatakan turut bela sungkawa, Phoa Beng Gan sebagai Kapitein pengganti Souw Beng Kong pun mengajukan permohonan agar jenazah Souw Beng Kong boleh disemayamkan di rumahnya, sambil menunggu selesainya pembangunan komplek makam yang memakan waktu dua bulan lamanya.
Upacara pemakamannya dilakukan dengan penuh kebesaran dan penghormatan, masyarakat Tionghoa dari seluruh
Batavia dan sekitarnya pun turut mengantarkan jenazahnya ke pemakaman yang jumlahnya mungkin mencapai belasan ribu orang. Pemerintah Belanda pun memberikan penghormatan penuh secara kemiliteran.
Sampai dengan akhir tahun 1960 an Makam Souw Beng Kong tersebut masih bisa dijumpai di Gang Taruna ( dahulu disebut Gang Souw Beng Kong ) di Jalan P. Jayakarta.

Dalam rangka melestarikan peninggalan sejarah dan turut menghargai jasa-jasa almarhum Souw Beng Kong serta sebagai wujud keperdulian terhadap Bangsa dan Negara maka pada 11 Februari 2008 di Jakarta telah didirikan Yayasan Kapitein Souw Beng Kong yang dipimpin oleh KRT Hendarmin Susilo ( So Sien Ming ) yang program pertamanya adalah membebaskan tanah di sekeliling makam Souw Beng Kong yang sudah di dikuasai oleh warga sekitar, bahkan diatas makam Souw Beng Kong tersebut pernah berdiri sebuah rumah lengkap dengan kamar mandinya, Yayasan Kapitein Souw Beng Kong juga sudah merehabilitasi komplek makam tersebut sehingga sekarang ini layak disebut sebagai makam orang ternama dan juga mengadakan upacara-upacara adat sesuai dengan kepercayaan yang dipeluk oleh almarhum Souw Beng Kong. Demikianlah kisah dari seorang Tokoh Marga Souw yang boleh dibanggakan oleh kalangan Marga Souw, karena beliau selain sebagai Kapitein Pertama dari golongan Tionghoa, dia juga sangat besar jasa-jasanya terhadap kaum Tionghoa , dia sangat di hormati dan dicintai oleh kaum Tionghoa pada waktu itu, semoga tulisan bisa menjadi inspirasi dan kebanggaan bersama dari Kaum Keturunan Marga Souw.

Sekian.
Ditulis Oleh: Bpk. So Wee Ming



Kamis, 05 Juli 2007

Situs Souw Beng Kong

Pada abad ke-17 di atas tanah perkebunan miliknya sendiri gang sempit berada dan letaknya di sebelah kiri ke arah Jalan Gunung Sahari. Dahulu, ”jalan tikus” ini disebut Gang Souw Beng Kong dan sekarang menjadi Gang Taruna,Pangeran Jayakarta, Jakarta

Upaya memperbaiki makam Souw Beng Kong

1. Pada tahun 1909 dipugar oleh Kong Koan (Dewan Opsir Tionghoa).

2. Pada bulan Oktober 1929 “KONG KUAN” (Dewan Perwakilan Masyarakat Tinghoa) menyediakan dana sebesar 2.500 Golden untuk biaya renovasi makam tersebut dibawah perintah Majoor der Chineezen Khouw Kim An (1875-1946).

3. Pada bulan April 2006 ini ada yang mengaku keluarganya yang membeli rumah di atas makam itu. Kabarnya, mereka akan memperbaiki makam ini.

Pendapat Masyarakat

David Kwa, pengamat sejarah Tionghoa,mengatakan “Makam ini ”terlupakan” begitu saja selama masa Orde Baru dan baru ditengok kembali setelah reformasi berlangsung beberapa tahun. Kabarnya, ada rencana pemugaran oleh Panitia Pemugaran Situs Souw Beng Kong. Selain dipugar, makam juga akan dikembangkan menjadi Taman Kota dan Objek Wisata Sejarah dan Kebudayaan. Gagasan ini mendapat tanggapan positif dari Walikotamadya Jakarta Pusat Petra Lumbun.”

"Sampai sekarang kawasan Kota Tua masih kumuh dan macet. Kawasan ini menggiurkan dari sisi ekonomi. Tetapi sejarah di sini juga sangat penting. Karena itu, pemerintah harus serius dalam membangun kembali Kota Tua Jakarta," kata Alwi.

Ir WP Zhong,dosen UNTAR menyatakan keprihatinannya karena di atas makam kuno itu sudah dibangun rumah tinggal dan lingkungan sekitarnya sudah padat sekali dengan perumahan kumuh.

Budayawan Ridwan Saidi, lebih memilih supaya hari lahir Jakarta terdapat pada sebuah testamen janda dari mendiang Souw Beng Kong (1580-1644).

Ketua KPSBI-Historia Asep Kambali"Jangan lupakan, selain menjadi Kapitan Cina pertama di Batavia, Souw Beng Kong adalah seorang kontraktor bangunan. Sayang sekali makamnya tidak terurus. Padahal, jika ditata dengan baik, tempat itu bisa menjadi tempat wisata menarik," katanya.

“Dia merupakan salah seorang tokoh besar Tionghoa yang pengaruhnya meliputi kawasan Banten dan Jakarta. Di Banten dia terkenal sebagai tokoh yang banyak mengajarkan tata cara pertanian terhadap masyarakat sekitar.” Penulis Wahyu Wibisana

Sejarah Souw Beng Kong


Kapitan Tionghoa Pertama
Souw Beng Kong lahir kira-kira tahun 1580 di Desa Tongan dalam periode Banlek (1573-1620) dari kaisar Beng Sin Tjong di kabupaten Tang-oa” (Tong’an), karesidenan Coan-ciu (Quanzhou), provinsi Hokkian (Fujian), Cina Selatan.

Ketika pada tanggal 23 Juni 1596 armada Belanda di bawah pimpinan
Cornelis Houtman (2 April 1565 - Agustus 1599) berhasil mendarat di pelabuhan Banten sekaligus menemukkan jalur baru dari Eropa ke Indonesia, dan merupakan awal dari perlawanan monopoli portugis terhadap perdagangan rempah-rempah dari Indonesia, khususnya Banten.Ia tercengang karena menjumpai koloni Tionghoa yang mempunyai hubungan yang harmonis dengan penduduk dan penguasa setempat.

Pada tahun 1611 ketika pada awalnya VOC membeli hasil bumi, terutama lada di Banten, ternyata ia harus berurusan dengan seorang pedagang Tionghoa kepercayaan Sultan yang bernama Souw Beng Kong. Dan disaat itulah Jan Pieterszoon Coen bertemu dan Souw Beng Kong.


Ketika pada tahun 1619 Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC di Hindia Belanda dan bermaksud memindahkan kantor dagangnya dari Maluku ke Jayakarta. Souw Beng Kong sebagai pemimpin komunitas Tionghoa di Banten dirayu untuk memindahkan seluruh penduduk Tionghoa dari Banten ke Jayakarta yang kemudian diubah namanya menjadi
Batavia.

Ia melakukan monopoli perdagangan dengan memblokade pelabuhan Banten dan melarang pedagang Tionghoa memasuki Banten. Akibatnya pelabuhan Banten menjadi sepi dan hubungan etnis Tionghoa yang diwakilkan Souw Beng Kong, sebagai pimpinan etnis Tionghoa di Banten dengan Sultan Banten menjadi renggang dan kurang harmonis
.Perpindahan etnis Tionghoa tersebut ditentang keras oleh Sultan Agung Banten**.
Dimasa peperangan dengan Sultan Agung dari Banten, Jan Pieterszoon Coen pernah memberikan perintah kepada Souw Beng Kong agar memajukan perdagangan Batavia dengan mengalihkan jung-jung dari Tiongkok untuk merapat di bandar Batavia.

Pada 11 Oktober 1619 Souw Beng Kong diangkat pertama kali sebagai overste (opperste) der Chineezen karena keberhasilannya membawa etnis Tionghoa dari Banten ke Batavia dan mem blok perdagangan nya dengan merubah nya ke Batavia. Di bawah kepemimpinan kapiten ini pula kemudian kawasan Glodok dan sekitarnya berkembang demikian pesatnya menjadi kawasan perdagangan.Dan VOC menjadikan Etnis Tionghoa sebagai perantara dari semua kegiatan perdagangan dengan kerajaan pribumi di Nusantara.

Pada tahun 1622 kapal-kapal Belanda menculik pria, wanita dan anak-anak di pantai Tiongkok Selatan dan menyiksa para tawanan tersebut dengan sangat kejam di kepulauan Pescadores*.Banyak yang meninggal sebelum tiba di Batavia dan kalau ingin bebas mereka harus bekerja keras terlebih dahulu untuk mengumpulkan uang tebusan.Pada masa inilah terjadi gelombang kedatangan etnis Tionghoa secara besar-besaran ke Jawa yang pada umumnya berasal dari provinsi Fujian.Membangun kota Batavia Jan Pieterszoon Coen mengambil tenaga kerja dari Tanah Tiongkok untuk dijadikan kuli, tukang dan pedagang eceran demi memajukan koloni dan perdagangannya. Pelaut Belanda tidak segan-segan merompaki jung-jung Tionghoa secara terang-terangan dan menahan awak kapalnya untuk bekerja di Batavia.

Tahun 1625 gelar itu diubah menjadi cappiteijn ofte overste der Chineezen, yang memiliki tugas mengurusi para pemukim Tionghoa di kota batavia sebagai juru bicara dan penanggung jawab mereka, serta mengendalikan komunitas Tionghoa di Batavia agar patuh kepada setiap peraturan yang dibuat VOC termasuk menjalankan politik “divide et impera”.Ia menjadi penasihat resmi mengenai adat-istiadat Tionghoa pada pengadilan Belanda sejauh menyangkut adat-istiadat Tionghoa.
Selain itu ia juga memiliki perkebunan lada yang luas sekali dan beliau juga yang pertama kali mengajarkan system Irigasi yang sekarang digalakkan oleh petani – petani di Nusantara serta mengajarkan pembuatan sawah yang yang dikenal sekarang dengan Subak atau terasering.
Mengurus tempat judi, pembuatan uang tembaga, serta mengawasi rumah timbang bagi semua barang milik orang Tionghoa. Ia mengawasi pembangunan rumah-rumah para pejabat Belanda, dengan demikian ialah aannemer (kontraktor) Tionghoa pertama di kota ini.

Atas keberhasilan itulah maka sebagai balas jasa, Souw Beng Kong pada tahun 1628 menjadi Kapitan Tionghoa ( Kapitein der Chinezen). Dengan demikian ia menjadi orang Tionghoa pertama yang diberi pangkat di Hindia Belanda. Kepada bawahannya Jan Pieterszoon Coen berkata : “Siapa pun yang berniat membangun dan memperluas pengaruh Belanda harus bekerja- sama dengan orang-orang Tionghoa, karena mereka bangsa yang ulet, rajin dan suka bekerja“.

Beng Kong meninggal dunia 8 April 1644 di usia 50 tahun di gedungnya yang megah di Tijgersgracht (artinya Terusan Macan,sekarang Jl Pos Kota) dan dimakamkan sebulan kemudian di tanahnya sendiri yang terletak di Mangga Dua tetapi menurut nara sumber dari salah satu keluarganya jenazah Souw Beng Kong di rawat sampai 2 bulan di balsam dan ditemani dengan setia oleh dua orang budak perempuan dan mereka baru bebas dari budak setelah jenazah nya di makam kan dan menjadikan makam tertua etnis Tionghoa di Jakarta.
Dalam laporannya kepada Heeren XVII di Belanda ia menyatakan : “ Tak seorang pun di dunia yang mengabdi kepada kita dengan lebih baik selain orang Tionghoa.”Inilah untuk pertama kali seorang tokoh etnis Tionghoa berhasil ditempatkan pada posisi ‘tengah’ oleh Belanda dalam jajaran pemerintahan untuk menjembatani hubungan antara Tionghoa dan penduduk setempat.

*Pulau Pescadores merupakan Pulau terbesar dari kumpulan kepulauan yang berjumlah sekitar 64 pulau besar dan kecil dengan total luas wilayah 127 km².Pescadores adalah nama yang diberikan oleh orang Belanda. Di masa Dinasti Yuan, Tiongkok telah mendirikan pos teritorial di Pescadores, namun di zaman Dinasti Ming, Pescadores dibiarkan kosong tak bertuan. Sewaktu para pelaut Belanda ingin menduduki Pescadores, Ming baru mengirimkan armada perang untuk mengusir Belanda.Kepulauan Pescadores sekarang termasuk ke dalam administrasi Taiwan, Republik China sebagai Kabupaten Penghu.


**The First Javanese War of Succession (1704-08)

The Second Javanese War of Succession (1719-23)

The Third Javanese War of Succession (1746-55)

Arsip Blog